Monday, March 1, 2010

Pemikiran Politik Hasan al-Banna

Monday, March 1, 2010


Islam berkembang cepat dan memiliki akar yang begitu banyak. Tradisi Islam senantiasa memandang penyebaran Islam yang luar biasa ini sebagai bukti keajaiban dan kesahihan historis akan kebenaran al-Qur’an dan klaim-klaim Islam dan sebagai tanda adanya petunjuk dari Allah. Akan tetapi kolonialisme bangsa-bangsa Eropa pada abad ke-18 hingga pertengahan pertama abad ke-20 dan kegagalan selanjutnya dari banyak negara Islam modern menyodorkan tantangan yang serius atas kepercayaan ini.[1] Maka muncullah kelompok yang beranggapan bahwa Islam sudah tidak relevan lagi, namun di sisi lain muncul juga kalangan yang menggaungkan kembali kepada Islam yang kaffah dalam semua lini kehidupan.


Islam adalah agama yang lengkap. Islam tidak memisahkan antara sesuatu yang duniawi dan ukhrawi, atau yang profan dan sakral. Islam meliputi segala sesuatu, sebagai way of life. Islam meliputi alam semesta, ekonomi, sosial politik, dengan konsepsi umum yang kemudian melahirkan banyak interpretasi. Tafsiran antar para pemikir beragam macamnya, termasuk dalam hal pemikiran politik.

Pemikiran Politik dalam Islam berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Al-Mawardi (w.1058 M), Ibn Taimiyyah (w.1328 M) Ibn Khaldun (w.1406 M), Ibnu Abdil Wahhab (w.1793 M), al-Afghani (w.1897 M) dan Abduh (w.1905 M) sebagai contoh adalah beberapa nama pemikir muslim yang menjadi rujukan dalam pemikiran politik. Namun selain beberapa nama itu, tokoh pergerakan Islam dari tanah Mesir, Hasan al-Banna memiliki pemikiran yang menarik dalam bidang politik.

Menurut Muhammad Abdul Qadir Abu Faris dalam bukunya Fikih Politik Menurut Imam Hasan Al-Banna, orang yang membaca apa yang ditulis oleh Hasan Al-Banna apa yang disampaikan dalam berbagai kesempatan ceramah umum maupun khusus, penguasaannya terhadap berbagai disiplin ilmu dan bahkan menghafalnya, maka akan memahaminya dengan mudah, bahwa Hasan Al-Banna adalah seorang ulama yang mumpuni dalam memahami nash-nash syar’i.[2] Beliau juga mendalami berbagai persoalan zamannya di dunia Arab dan Islam, mengikuti peristiwa-peristiwa dunia, dan memahami hakikat peradaban barat yang merupakan peradaban yang terfokus pada kenikmatan dan nafsu syahwat.[3]

Hasan Al-Banna adalah salah satu tokoh pergerakan besar Islam. Jama’ah-nya yang bernama Ikhwanul Muslimin[4] memberikan pengaruh yang banyak di berbagai penjuru dunia muslim. Zabir Rizq menyebutkan bahwa al-Banna “Sangat pantas didaulat sebagai pembaru abad ke-14 Hijriyah.” Tokoh Islam ini, lanjut Rizq dalam bukunya al-Imam as-Syahid Hasan al-Banna, adalah pemimpin rakyat yang sampai saat ini belum seorang pun mampu menandinginya.[5]

Ide al-Banna tentang Arabisme sebagai contoh, menarik disimak. Al-Banna menyebut bahwa umat Islam merupakan bangsa pilihan. Islam, menurutnya, tidak pernah bangkit tanpa bersatunya bangsa Arab. Batas-batas geografis dan pemetaan politis tidak pernah mengoyak makna kesatuan Arab dan Islam. “Jika bangsa Arab hina, hina pulalah Islam,” demikian al-Banna seperti dikutip dari “Dakwah Kami” yang mengutip dari sabda Rasulullah Saw.

Dalam makalah ini, akan dijelaskan tentang pemikiran Hasan al-Banna dalam bidang politik yang diambil dari buku kumpulan tulisan Hasan al-Banna dan dari para pakar.

Biografi Singkat

Kapankah kematian akan berlari dariku?
Apakah pada hari yang tidak ditakdirkan ataukah saat ketentuan itu tiba?
Pada hari yang belum ditakdirkan, saya tak perlu takut pada kematian
Dan pada hari yang ditentukan-Nya,
Kehati-hatian takkan menyelamatkan diri dari kematian[7]

Hasan al-Banna dilahirkan pada Ahad 25 Sya’ban 1324 (bertepatan dengan 14 Oktober 1906) di kota Mahmudiyah, sebuah kawasan dekat Iskandariyah. Nama lengkapnya adalah Hasan bin Ahmad bin Abdurrahman al-Banna. al-Banna berasal dari sebuah keluarga pedesaan kelas menengah. Keluarganya termasuk penduduk “negeri seribu menara” Mesir.

Al-Banna adalah sosok pribadi mulia yang sangat berpengaruh dalam perjalanan sejarah—bukan hanya pada bangsa Arab dan Islam, akan tetapi juga pada seluruh dunia hingga Amerika Serikat, Rusia, Afrika, bahkan ke jantung Eropa dan Australia. Al-Banna adalah pendiri dari Jama’ah Ikhwanul Muslimin yang banyak memberikan pengaruh di dunia.[8]

Ayahnya bernama Ahmad, putra bungsu kakeknya yang bernama Abdur Rahman, seorang petani. Ahmad dibesarkan dalam suasana yang jauh dari pertanian. Untuk memenuhi keinginan ibunya, ia masuk ke Pesantren Tahfidzul Qur’an di kampungnya kemudian melanjutkan pendidikan tinggi di Universitas Ibrahim Pasha di Iskandariyah. Di tengah masa studi, Ahmad juga bekerja di toko reparasi jam hingga menguasai yang terkait dengan jam. Dari profesi inilah kemudian ayahnya dikenal dengan as-Sa’ati (tukang reparasi jam). Selain itu, Ahmad juga menulis sebuah kitab berjudul al-Fathur Rabbani fi Tartibi Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal al-Syaibani.

Sedangkan ibunda dari Hasan al-Banna bernama Ummu Sa’d Ibrahim Saqr. Ibundanya adalah tipologi wanita yang cerdas, disiplin, cerdik dan kokok pendirian. Apabila telah memutuskan sesuatu sulit bagi Ummu Sa’d untuk menarik mundur keputusannya. Ini senada dengan sebuah pepatah yang berbunyi, “Jika layar terkembang pantang biduk surut ke pantai.” Perhatiannya pada pendidikan membuatnya juga bertekad untuk menyekolahkan Hasan al-Banna hingga ke pendidikan tinggi. Ummu Sa’ad memiliki delapan delapan orang anak, yang masing-masing adalah: Hasan al-Banna, Abdurrahman[9], Fatimah[10], Muhammad[11], Abdul Basith[12], Zainab[13], Ahmad Jamaluddin[14], dan Fauziyah.[15]

Hasan al-Banna menyelesaikan pendidikan dasarnya di Mahmudiyah. Di tahun ketujuh dalam usianya, lelaki yang selalu meraih rangking pertama dalam semua jenjang sekolahnya ini, menyelesaikan hafalan separuh al-Qur’an, kemudian menyempurnakan hafalannya di sekolah diniyah al-Rasyad. Setelah itu, melanjutkan ke sekolah Mu’allimin Awwaliyah[16] di Damanhur, dan menamatkan pendidikan tingginya di Darul Ulum (1923-1927).

Lelaki yang aktif dalam organisasi sosial dan keagamaan ini mempunyai perpustakaan besar. Di dalam perpustakaan ini berisi ribuan kitab dalam berbagai disiplin ilmu dan empat belas majalah berkala yang terbit di Mesir. Al-Muqtathaf, al-Fath, dan al-Manar, adalah beberapa majalah yang ada di perpustakaan tersebut. Hingga sekarang, perpustakaan ini masih tetap berdiri, dan dikelola oleh putranya bernama Saiful Islam.

Pada 1927, setelah menamatkan pendidikan tinggi di Darul Ulum, al-Banna menjadi guru Sekolah Dasar di Ismailiyah selama sembilan belas tahun. Di tahun 1946, ia berpindah ke Kairo, kemudian mengundurkan diri dari jabatan sebagai guru negeri. Setelah itu, al-Banna berkonsentrasi pada surat kabar harian al-Ikhwan al-Muslimun.

Jama’ah Ikhwanul Muslimin (selanjutnya disebut Ikhwan) adalah gerakan besar yang didirikan oleh al-Banna. Gerakan ini dibentuk pada bulan Dzulqa’dah 1347 H/1928 di kota Ismailiyah. Gerakan ini tumbuh dengan pesat dan tersebar di berbagai kelompok masyarakat. Sebelum mendirikan Ikhwan, al-Banna juga ikut mendirikan sebuah jamaah sufi bernama Thariqah Hashafiyah dan Jamaah Syubban al-Muslimin. Metode gerakan yang diserukan oleh Ikhwan adalah bertumpu pada tarbiyah (pendidikan) secara bertahap. Tahapan tersebut adalah dengan membentuk pribadi muslim, keluarga muslim, masyarakat muslim, pemerintah muslim, Negara Islam, Khalifah Islam dan akhirnya menjadi Ustadziyatul ‘Alam (kepeloporan dunia).

Pribadi Hasan al-Banna menarik banyak kalangan. Abul Hasan Ali an-Nadwi, memberikan kesaksian tentang al-Banna: “Pribadi itu telah mengejutkan Mesir, dunia Arab dan dunia Islam dengan gegap gempita dakwah, kaderisasi, serta jihad dengan kekuatannya yang ajaib. Dalam pribadi itu, Allah Swt, telah memadukan antara potensi dan bakat yang sepintas tampak saling bertentangan di mata para psikolog, sejarawan, dan pengamat sosial. Di dalamnya terdapat pemikiran yang brilian, daya nalar yang terang menyala, perasaan yang bergelora, hati yang penuh limpahan berkah, jiwa yang dinamis nan cemerlang, dan lidah yang tajam lagi berkesan. Di situ ada kezuhudan dan kesahajaan, kesungguhan dan ketinggian cita dalam menyebarkan pemikiran dan dakwah, jiwa dinamis yang sarat dengan cita-cita, dan semangat yang senantiasa membara. Di situ juga ada pandangan yang jauh ke depan…”[17]

Ensiklopedia Wikipedia menulis tentang al-Banna: “Ia memperjuangkan Islam menurut Al-Quran dan Sunnah hingga dibunuh oleh penembak misterius yang oleh banyak kalangan diyakini sebagai penembak 'titipan' pemerintah pada 12 Februari 1949 di Kairo. Kepergian Hassan al-Banna pun menjadi duka berkepanjangan bagi umat Islam. Ia mewariskan dua karya monumentalnya, yaitu Catatan Harian Dakwah dan Da'i serta Kumpulan Surat-surat. Selain itu Hasan al-Banna mewariskan semangat dan teladan dakwah bagi seluruh aktivis dakwah saat ini.”[18]

Pemikiran Politik

Di setiap tempat selalu ada pemikir dalam bidang politik dalam skala yang berbeda. Dalam skala Timur Tengah, pemikiran politik dari Mesir Kuno hingga Mesir Modern memiliki pengaruh bagi wilayah, bahkan lintas daerah. Nasionalisme Arab, sebagai salah satu contoh selain tentang Zionisme dan ideologi kiri Islam, menurut A. Rahman Zainuddin adalah jenis pemikiran yang dianggap sangat menentukan dewasa ini.[19]

Di Mesir, menurut Yusuf al-Qaradhawi, sebelum adanya dakwah Hasan al-Banna dan lembaga pendidikan yang beliau dirikan, aspek politik tidak mendapatkan perhatian sama sekali oleh masyarakat Islam. Dari sini kemudian terjadi dikotomi antara seorang agamis dan seorang politisi. “Seorang agamis,” tulis ulama yang kini bermukin di Qatar itu, “dilarang berkecimpung dalam masalah politik,” sebaliknya juga, “seorang politisi dilarang berkecimpung dalam masalah agama.”[20]

Hasan al-Banna sebagai salah satu tokoh pergerakan Islam yang memiliki pengaruh di Mesir, bahkan dunia Islam memiliki pemikiran dan praksis dalam kancah politik. Pemikiran politik Hasan al-Banna, setidaknya ada empat hal, yaitu: ‘Urubah (Arabisme), Wathaniyah (Patriotisme), Qaumiyah (Nasionalisme), dan ‘Alamiyah (Internasionalisme).

a. ‘Urubah (Arabisme)
Arabisme memiliki tempat tersendiri dan peran yang berarti dalam dakwah Hasan al-Banna. Bangsa Arab adalah bangsa yang pertama kali menerima kedatangan Islam. Dia juga merupakan bahwa yang terpilih. Hal ini sesuai dengan apa yang disabdakan oleh Rasulullah Saw, “Jika bangsa Arab hina, maka hina pulalah Islam.” Arabisme menurut al-Banna adalah kesatuan bahasa. Ia berkata dalam Muktamar Kelima Ikhwan,“…Bahwa Ikhwanul Muslimin memaknai kata al-‘Urubah (Arabisme) sebagaimana yang diperkenalkan Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Ibnu Katsir dari Mu’adz bin Jabal ra, Ingatlah, sesungguhnya Arab itu bahasa. Ingatlah, bahwa Arab itu bahasa.”

Menurut al-Banna, Arab adalah umat Islam yang pertama, yang merupakan bangsa pilihan. Islam, menurutnya, tidak pernah bangkit tanpa bersatunya bangsa Arab. Batas-batas geografis dan pemetaan politis tidak pernah mengoyak makna kesatuan Arab dan Islam. Islam juga tumbuh pertama kali di tanah Arab, kemudian berkembang ke berbagai bangsa melalui orang-orang Arab. Kitabnya datang dengan bahasa Arab yang jelas, dan berbagai bangsa pun bersatu dengan namanya.

Dalam riwayat Ibnu Asakir, dengan sanad dari Malik bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Tuhan itu satu, bapak itu satu, dan agama itu satu. Bukanlah Arab di kalangan kamu itu sebagai bapak atau ibu. Sesungguhnya, Arab itu adalah lisan (bahasa), maka barangsiapa yang berbicara dengan bahasa Arab, dia adalah orang Arab.”

Dalam hadits ini, tulis Hasan al-Banna, kita mengetahui bahwa bangsa-bangsa Arab yang membentang dari Teluk Persi sampai Maroko dan Mauritania di Lautan Atlantik, semuanya adalah bangsa Arab. Mereka dihimpun oleh akidah serta dipersatukan oleh bahasa dan teritorial yang satu. Tidak ada yang memisahkan dan membatasinya. Menurut al-Banna, ketika kita beramal untuk Arab, berarti kita juga beramal untuk Islam dan untuk kebaikan dunia seisinya.[21]

Atas dasar ini, menurut Abdul Hamid al-Ghazali, dalam bukunya Meretas Jalan Kebangkitan Islam, kita dapat menyimpulkan beberapa unsur dari pemikiran al-Banna bahwa berbangga dengan Arabisme tidak termasuk fanatisme dan tidak berarti merendahkan pihak lain.[22] Arabisme dengan tujuan untuk membangkitkan Islam demi tersebarnya Islam adalah dibolehkan.

b. Wathaniyah (Patriotisme)
Banyak definisi tentang patriotisme. Ada yang menyebut sebagai kecintaan yang mendalam terhadap bangsa, negara dan tanah air. “Man who have offered their life for their country, know that patriotism is not the fear of something, it is the love of something,” demikian salah satu definisinya.[23]

Dalam memaknai Wathaniyah (patriotisme), ada tiga arti yang dikemukakan oleh Hasan al-Banna, yaitu: Pertama, Patriotisme Kerinduan (Cinta Tanah Air). Al-Banna berkata: “Jika yang dimaksud dengan patriotisme oleh para penyerunya adalah cinta negeri ini, keterikatan padanya, kerinduan padanya, dan ikatan emosional dengannya, maka hal itu sudah tertanam secara alami dalam fitrah manusia di satu sisi, dan dianjurkan Islam di sisi lainnya.” Kedua, Patriotisme Kemerdekaan dan Kehormatan (Kemerdekaan Negeri). Al-Banna berkata: “Jika yang mereka maksudkan dengan patriotisme adalah keharusan berjuang untuk membebaskan tanah air dari cengkeraman perampok imperialis, menyempurnakan kemerdekaannya, dan menanamkan kehormatan diri dan kebebasan dalam jiwa putra-putra bangsa, maka kami sepakat dengan mereka tentang itu.” Ketiga, Patriotisme Kebangsaan (Kesatuan Bangsa). Al-Banna berkata: “Jika yang mereka maksudkan dengan patriotisme adalah mempererat ikatan antara anggota masyarakat suatu Negara dan membimbingnya ke arah memberdayakan ikatan itu untuk kepentingan bersama, maka kami pun sepakat dengan mereka.”

Patriotisme juga memiliki prinsip di mata Hasan al-Banna. Ia mengatakan: “Suatu kekeliruan bagi orang-orang yang menyangka bahwa Ikhwanul Muslimin berputus asa terhadap kondisi negeri dan tanah airnya. Sesungguhnya kaum Muslimin adalah orang-orang yang paling ikhlas berkorban bagi negara, habis-habisan berkhidmat untuknya, dan menghormati siapa saja yang mau berjuang dengan ikhlas dalam membelanya. Dan anda tahu sampai batas mana mereka menegakkan prinsip patriotisme mereka, serta kemuliaan macam apa yang mereka inginkan bagi umatnya. Hanya saja, perbedaan prinsip antara kaum muslimin dengan kaum yang lainnya dari para penyeru patriotisme murni adalah bahwa asas patriotisme Islam adalah akidah Islamiyah…Adapun tentang patriotisme Ikhwanul Muslimin, cukuplah bahwa mereka menyakini dengan kukuh bahwa sikap acuh terhadap sejengkal tanah yang ditinggali seorang muslim yang terampas merupakan tindakan kriminal yang tidak terampuni, hingga dapat mengembalikannya atau hancur dalam mempertahankannya. Tidak ada keselamatan bagi mereka dari siksa Allah kecuali dengan itu.”

Al-Banna juga mengkiritik pandangan tentang patriotisme yang hanya berpikir untuk membebaskan regionalnya saja. Seperti dalam kasus masyarakat Barat yang lebih cenderung pada pembangunan unsur fisik dalam tatanan kehidupannya, ini tidak dikehendaki oleh Islam. Adapun kami, kata beliau, “kami percaya bahwa di pundak setiap muslim terpikul amanah besar untuk mengorbankan seluruh jiwa, darah, dan hartanya demi membimbing umat manusia menuju cahaya Islam.” Dari sini, kita mendapatkan gambaran bahwa tujuan hidup seorang muslim tidaklah hanya dibatasi oleh region-region tertentu, akan tetapi dalam skala yang lebih luas adalah untuk seluruh umat manusia.

c. Qaumiyah (Nasionalisme)
Menurut Ensiklopedia Wikipedia, Nasionalisme adalah satu paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara (dalam bahasa Inggris "nation") dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia.[24] Menurut Hasan al-Banna ada tiga unsur nasionalisme, yaitu: nasionalisme kejayaan, nasionalisme umat, dan berkata tidak pada nasionalisme jahiliyah.

Tentang nasionalisme kejayaan, Al-Banna mendukung nasionalisme yang berarti bahwa generasi penerus harus mengikuti jejak para pendahulunya dalam mencapai kejayaannya. Ini adalah maksud yang baik, menurutnya dan mendukung. Hal ini sejal dengan sabda Rasululllah Saw yang berbunyi, “Manusia seperti tambang. Yang terbaik di antara mereka di masa jahiliahnya adalah juga yang terbaik di masa Islam, jika mereka memahami.”

Menurutnya, jika yang dimaksud dengan nasionalisme adalah anggapan bahwa suatu kelompok etnis atau sebuah komunitas masyarakat adalah pihak yang paling berhak memperoleh kebaikan-kebaikan yang merupakan hasil perjuangannya, maka ia benar adanya. Jika yang mereka maksudkan dengan nasionalisme adalah bahwa setiap kita dituntut untuk bekerja dan berjuang, bahwa setiap kelompok harus mewujudkan tujuannya hingga kita bertemu—dengan izin Allah—di medan kemenangan, maka inilah pengelompokan terbaik. Semua makna nasionalisme ini adalah indah dan mengagumkan, tidak diingkari oleh Islam. Itulah tolak ukur terbaik menurut al-Banna.

Nasionalisme Islam bersumber dari hadits Nabi: “Orang muslim itu saudara muslim yang lain.” Sedangkan sabdanya yang lain mengatakan: ”Orang-orang muslim itu satu darah, orang-orang yang berada di atas bekerja untuk menyantuni yang lain, dan mereka bersatu untuk melawan musuhnya.”[25] Ini berarti bahwa nasionalisme Islam tidak terbatas pada negara saja.

Islam datang untuk menghapus budaya jahiliyah. Nasionalisme yang jahiliyah haruslah ditinggalkan oleh umat Islam. Ia berkata bahwa jika yang dimaksudkan dengan nasionalisme adalah menghidupkan tradisi jahiliyah yang sudah lapuk, menegakkan kembali peradaban yang telah terkubur dan digantikan oleh peradaban baru yang telah eksis dan bermanfaat, atau melepaskan dirinya dari ikatan Islam dengan klaim demi nasionalisme dan harga diri kebangsaan, maka pengertian nasionalisme seperti ini adalah buruk, hina akibatnya, dan jelek kesudahannya.

d. ‘Alamiyah (Internasionalisme)
Allah Swt berfirman dalam al-Qur’an surat al-Anbiya ayat 107: “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” Ayat ini berarti bahwa diutusnya nabi Muhammad Saw adalah ditujukan untuk seluruh umat manusia dari seluruh suku bangsa. ”Rahmatan Lil’Alamin” adalah konsep yang menjelaskan tentang internasionalisme Islam yang tidak mengenal sekat-sekat teritori.

Jika internasionalisme diterjemahkan dengan “Pemerintahan Dunia”, maka pengertiannya yang bisa diberikan adalah “Sebuah kesatuan pemerintahan dengan otoritas mencakup planet Bumi.[26] Tidak pernah ada satu Pemerintahan Dunia yang pernah terjadi sebelumnya, meskipun kerajaan besar dan superpower telah mendapatkan tingkatan kekuasaan yang mirip. Contoh sejarah telah dihambat oleh kenyataan bahwa komunikasi dan perjalanan yang tak memungkinkan membuat organisasi dunia ini tidak terjadi. Beberapa internasionalis mencari pembentukan pemerintahan dunia sebagai cara mendapatkan kebebasan dan sebuah peraturan hukum di seluruh dunia. Beberapa orang khawatir bahwa pemerintah dunia harus dapat menghormati keragaman negara atau manusia yang tercakup di dalamnya. Dan di sisi lain memandang ide ini sebagai sebuah kemungkinan mimpi buruk, dalam dunia yang kacau pemerintah berusaha menciptakan negara totalitarian yang tak berakhir tanpa ada kemungkinan untuk kabur atau revolusi.[27]

Internasionalisme menurut Hasan al-Banna inheren dalam Islam, oleh karena Islam adalah agama yang diperuntukkan untuk seluruh umat manusia. “Adapun dakwah kita disebut internasional, karena ia ditujukan kepada seluruh umat manusia. Manusia pada dasarnya bersaudara; asal mereka satu, bapak mereka satu, dan nasab mereka pun satu. Tidak ada keutamaan selain karena takwa dan karena amal yang dipersembahkannya, meliputi kebaikan dan keutamaan yang dapat dirasakan semuanya,” demikian tulisnya.

Konsep internasionalisme merupakan lingkaran terakhir dari proyek politik al-Banna dalam program ishlahul ummah (perbaikan umat). Dunia, tidak bisa tidak, bergerak mengarah ke sana. Persatuan antar bangsa, perhimpunan antar suku dan ras, bersatunya sesama pihak yang lemah untuk memperoleh kekuatan, dan bergabungnya mereka yang terpisah untuk mendapatkan hangatnya persatuan, semua itu merupakan pengantar menuju terwujudnya kepemimpinan prinsip internasionalisme untuk menggantikan pemikiran rasialisme dan kesukuan yang diyakini umat manusia sebelum ini. Dahulu memang harus meyakini ini untuk menghimpun unsur-unsur dasar, lalu harus dilepaskan kemudian untuk menggabungkan berbagai kelompok besar, setelah itu terwujudlah kesatuan total di akhirnya. Langkah ini, menurutnya memang lambat, namun itu harus terjadi.

Untuk mewujudkan konsep ini juga Islam telah menyodorkan sebuah penyelesaian yang jelas bagi masyarakat untuk keluar dari lingkaran masalah seperti ini. Langkah pertama kali yang dilakukan adalah dengan mengajak kepada kesatuan akidah, kemudian mewujudkan kesatuan amal. Hal ini sejalan dengan ayat dalam al-Qur’an surat Asyura 13: “Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nabi Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah kami wasiatkan kepada Nabi Ibrahim, Musa dan Isa yaitu ‘Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya.”

Dalam Risalah Pergerakan, Hasan al-Banna berharap pada negerinya yaitu Mesir yang mendukung upaya dakwah Islamiyah, menyatukan seluruh bangsa Arab untuk kemudian melindungi seluruh kaum muslimin di penjuru bumi.[28] Namun, harapan ini tetaplah belum membuahkan hasil maksimal karena sejak Hasan al-Banna wafat sampai sekarang Mesir belum menjadi sentrum dari kesatuan umat Islam sedunia. Malah, pada beberapa kasus, seperti masalah invasi Israel ke Gaza Palestina (2009), Mesir banyak mendapat kecaman karena tidak kooperatif dengan aktivis pergerakan Islam namun dekat dan bahkan pada titik tertentu, mendapatkan intervensi dari Barat.[29]

Hasan Al-Banna dan “Teori Maslahat”

Dalam empat pemikiran politik Hasan al-Banna diatas, kita menemukan bahwa kemaslahatan sangat ditekankan oleh al-Banna. Ini didasarkan oleh tafsirannya terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang menghendaki umat Islam untuk tampil ke muka bumi sebagai khalifah untuk menciptakan masyarakat yang ber-Tauhid Islam.[30] Dengan demikian, segala hal yang bisa mendatangkan kebaikan, itu dibolehkan dalam agama.

Hasan al-Banna meyakini bahwa Islam adalah ajaran yang universal. Menurutnya, “Islam adalah agama dan sistem kehidupan yang utuh sekaligus memuat di dalamnya aspek politik.” Islam, menurutnya, adalah akidah dan ibadah, negara dan kewarganegaraan, moral dan material, peradaban dan perundang-undangan.[31] Tokoh Islam dari Mesir itu berkata, “Sebagai hasil pemahaman yang komprehensif dan utuh terhadap Islam dalam diri Ikhwanul Muslimin ini, fikrah mereka melingkupi seluruh perbaikan masyarakat dan tercermin di dalamnya setiap unsur dari berbagai pemikiran dalam rangka perbaikan (maslahat).”

Dari kutipan di atas kita melihat bahwa faktor kemaslahatan menjadi perhatian penting dalam pemikiran Hasan al-Banna. Konsep ‘Urubah (Arabisme) yang dikemukakannya adalah karena dalam sebagai muslim, ia berpatokan pada ketentuan dalam al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi Muhammad Saw. Konsep ini dilontarkan olehnya karena melihat secara faktual bahwa orang Arab adalah bangsa pilihan tempat diturunkannya para nabi dan al-Qur’an dalam bahasa Arab. Dengan demikian, siapapun kaum muslim yang ingin mempertahankan Islam patut memberikan penghargaan kepada bangsa Arab, dalam batas-batas yang tidak keluar dari ajaran Islam. Lebih jauh dalam masalah Arab ini, ke-Araban juga tidak dimaknai semata sebagai sebuah suku di daerah Arab, akan tetapi secara umum umat Islam yang juga mempelajari bahasa Arab. Hadits Nabi tentang “Ingatlah, sesungguhnya Arab itu bahasa. Ingatlah, bahwa Arab itu bahasa”, bermakna bahwa siapapun umat Islam yang mempelajari al-Qur’an yang notabene berbahasa Arab, termasuk dalam Islam yang perlu membela Arab.

“Jika bangsa Arab hina, hina pulalah Islam, “ yang dikemukakan oleh al-Banna semata karena penghargaannya kepada bangsa Arab yang telah menyebarkan ajaran Islam ke seluruh penjuru dunia.

Dalam hal Wathaniyah (Patriotisme), kerinduan akan tanah air tempat manusia dibesarkan adalah sesuatu yang alamiah dalam fitrah manusia. Artinya, kecintaan pada negeri sendiri adalah bagian dari kepedulian umat Islam terhadap lingkungannya. Tujuan utama dari patriotisme ini, menurut al-Banna adalah untuk membimbing umat manusia menuju cahaya Islam, lain dari itu (seperti hanya mementingkan aspek-aspek fisik di Eropa), bertentangan dengan Islam. Dilihat dari kacamata Ibnu Qayyim, cinta pada negeri demi kemaslahatan negeri itu sendiri, termasuk dalam agama.

Dalam membahas Qaumiyah (Nasionalisme), al-Banna menfokuskan pada sikap loyal (wala’)[32] pada Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang beriman. Dalil yang dikemukakannya, salah satunya adalah, “Sesungguhnya Allah adalah Pelindung orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Baqarah: 257. Dengan demikian, jika ada orang-orang beriman yang berjuang untuk kemajuan negerinya agar dakwah Islamiyah berkembang, maka itu termasuk dalam perlindungan Allah. Nasionalisme ala al-Banna juga memposisikan diri secara diametral dengan nasionalisme ala Jahiliyah yang sarat dengan muatan pengagungan nenek moyang tanpa dalil yang pasti atau untuk menanamkan rasa bangga pada jiwa anak-anaknya.

Nasionalisme Islam menurut al-Banna mengandung kemaslahatan karena membawa manusia agar meninggalkan fanatisme buta pada nenek moyang menuju penghambaan kepada Allah. Paganisme yang ada pada peradaban sebelum Islam yang kemudian berkembang dalam banyak bentuk juga ditentang oleh al-Banna. Menjadikan patung-patung, bahkan ideologi hasil pemikiran manusia sebagai sesuatu yang harus diikuti ketimbang dalil dari al-Qur’an dan Sunnah nabi juga ditentang. Al-Banna berkehendak menciptakan umat Islam yang menjalankan seluruh kehidupannya secara kaaffah (menyeluruh) dalam bingkai Islam. Dan, ini termasuk dalam kemaslahatan umat manusia.

Pandangan ‘Alamiyah (Internasionalisme) adalah berdasarkan pada dalil bahwa umat Islam dikeluarkan untuk menjadi “khairu ummah” (umat terbaik) yang Allah utus kepada manusia agar menjalankan kaidah menyeru kepada kebenaran dan mencegah pada yang mungkar. Rasulullah Saw juga diutus Allah untuk seluruh umat manusia (rahmatan lil ‘alamin). Dari perspektif ini, dakwah al-Banna berpatokan pada persaudaraan seluruh umat manusia. Dalil yang diambil oleh al-Banna berladaskan pada ayat, “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan istrinya, dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan peliharalah hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS. An-Nisa: 1)

Kemaslahatan internasionalisme ini sekilas memiliki kesamaan dengan konsepsi kaum Zionis yang berupaya menciptakan pemerintahan satu dunia. Akan tetapi, Zionisme lebih menitikberatkan pada penguasaan kaum Yahudi atas kalangan goyyim (non-Yahudi) dengan memperlakukannya sebagai budak. Persaudaraan umat sedunia yang diinginkan oleh al-Banna, adalah karena umat manusia berasal dari satu nenek moyang yaitu Adam as. Selanjutnya, dalam dakwah menuju persaudaraan internasional, harus dijalankan berdasarkan fondasi nilai yang adil dan tidak diskriminatif.[33] Dari sinilah kelak ada mekanisme take and give antar peradaban umat manusia. Unsur kerjasama demi kemaslahatan bersama sangat ditekankan oleh Hasan al-Banna.

Jadi, dilihat dari konsepsi Ibnu Qayyim tentang kemaslahatan, maka pemikiran politik Hasan al-Banna lebih menitikberatkan pada kemaslahatan umat Islam dan umat manusia.

Kesimpulan

Dari penjelasan makalah di atas, maka ada beberapa kesimpulan yang dapat diambil, yaitu:

Pertama, Ada empat pemikiran politik Hasan al-Banna, yaitu: Urubah (Arabisme), Wathaniyah (Patriotisme), Qaumiyah (Nasionalisme), dan ‘Alamiyah (Internasionalisme).

Kedua, Arabisme menurut Hasan al-Banna adalah karena faktor kesatuan bahasa. Tanpa Arab tidak ada Islam. Islam turun di dunia Arab, olehnya itu maka kaum muslimin perlu menjaga nama baik Arab.

Ketiga, Patriotisme dalam Islam dibolehkan selama tidak mengarah pada kesempitan pandangan jahiliyah. Kerinduan pada tanah air adalah sesuatu yang fitrawi, namun tetap dikendalikan oleh konsepsi Islam.

Keempat, Nasionalisme terbagi tiga yaitu nasionalisme kejayaan, nasionalisme umat, dan berkata tidak pada nasionalisme jahiliyah.

Kelima, Internasionalisme adalah konsep Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil’alamin).

Keenam, Kemaslahatan adalah salah satu pemikiran Hasan al-Banna dalam pemikiran politiknya.



Daftar Pustaka

Buku

al-Banna, Hasan. Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin I (Majmu’ah ar-Rasail al-Imam as-Syahid Hasan al-Banna—terj. Anis Matta dkk), cet.15. Solo: Era Intermedia, 2008

al-Banna, Hasan. Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin II (Majmu’ah ar-Rasail al-Imam as-Syahid Hasan al-Banna—terj. Anis Matta dkk), cet.6. Solo: Era Intermedia, 2001

Esposito, John L. Unholy War: Teror Atas Nama Islam.

Faqih, Khozin Abu. Bersama 6 Mursyid ‘Am: Mengenal Perintis Kebangkitan Islam Abad 15 H. Solo: Auliya Press, 2006

al-Ghazali, Abdul Hamid. Meretas Jalan Kebangkitan Islam: Peta Pemikiran Hasan al-Banna (Haula Asasiyat al-Masyru’ al-Islami Linahdhah al-Ummah—terj. Wahid Ahmadi & Jasiman). Solo: Era Intermedia

Hamid, Tijani Abd. Qadir. Pemikiran Politik dalam al-Qur’an (al-Ushul al-Fikri al-Siyasi fi al-Qur’an al-Makki—terj. Abdul Hayyie al-Kattani). Jakarta: Gema Insani Press, 2001

Jabir, Hussain bin Muhammad bin Ali. Menuju Jama’atul Muslimin: Telaah Sistem Jama’ah dalam Gerakan Islam (al-Thariq ila Jama’at al-Muslimin—terj. Aunur Rafiq Shaleh Tahmid), cet.kedua. Jakarta: Robbani Press, 2002

Mahmud, Ali Abdul Halim. Perangkat-Perangkat Tarbiyah Ikhwanul Muslimin (Wasail a-Tarbiyah ‘inda Ikhwanil Muslimin (Dirasah Tahliliyah Tarikhiyah—terj. Wahid Ahmadi dkk), cet.kelima. Solo: Era Intermedia, 2000

al-Qaradhawi, Yusuf. Sistem Kaderisasi Ikhwanul Muslimin (at-Tarbiyah al-Islamiyah wa Madrasah Hasan al-Banna—terj. Ghazali Mukri). Solo: CV. Pustaka Mantiq, 1992

Rizq, Zabir. Hasan al-Banna: Dai, Murabbi, dan Pemimpin yang Mengabdi (al-Imam Hasan al-Banna bil Aqlami Talamidzatihi wa Mu’ashirahi—terj. Syarif Ridwan). Bandung: Harakatuna Publishing, 2007

Zainuddin, AR. Pemikiran Politik Islam: Islam, Timur Tengah, dan Benturan Ideologi (Hermawan Sulistyo, ed.), cet.1. Jakarta: Pensil-324, 2004



Internet:

Ensiklopedia Wikipedia: http://id.wikipedia.org/wiki/Hasan_al-Banna



Presiden RI SBY: http://www.presidensby.info/index.php/pidato/2005/01/11/276.html



http://www.eramuslim.com/manhaj-dakwah/fikih-siyasi/fikih-siyasi-dan-kredibilitas-hasan-al-banna.htm



[1] John L. Esposito, Unholy War: Teror Atas Nama Islam, hal. 59

[2] Sesuai dengan syari’at Islam: al-Qur’an, hadits, ijma’ para sahabat, dan ijtihad para ulama.

[3] Lihat http://www.eramuslim.com/manhaj-dakwah/fikih-siyasi/fikih-siyasi-dan-kredibilitas-hasan-al-banna.htm

[4] Tulisan ini menggunakan kata “Ikhwanul Muslimin” (bukan: Ikhwanul Muslimun) seperti umumnya penerjemahan di Indonesia. Ikhwanul Muslimin (Arab: al-ikhwān al-muslimūn) sering hanya disebut (Al-Ikhwan) adalah salah satu jamaah dari umat Islam, mengajak dan menuntut ditegakkannya syariat Allah, hidup di bawah naungan Islam, seperti yang diturunkan Allah kepada Rasulullah Saw, dan diserukan oleh para salafush-shalih, bekerja dengannya dan untuknya, keyakinan yang bersih menghujam dalam sanubari, pemahaman yang benar yang merasuk dalam akal dan fikrah, syariah yang mengatur al-jawarih (anggota tubuh), perilaku dan politik. Dikemudian hari, gerakan Ikhwanul Muslimin tersebar ke seluruh dunia. Jamaah Ikhwanul Muslimin berdiri di kota Ismailiyah, Mesir pada Maret 1928 dengan pendiri Hasan al-Banna, bersama keenam tokoh lainnya, yaitu Hafiz Abdul Hamid, Ahmad al-Khusairi, Fuad Ibrahim, Abdurrahman Hasbullah, Ismail Izz dan Zaki al-Maghribi. Ikhwanul Muslimin pada saat itu dipimpin oleh Hasan al-Banna. Pada tahun 1930, Anggaran Dasar Ikhwanul Muslimin dibuat dan disahkan pada Rapat Umum Ikhwanul Muslimin pada 24 September 1930. Pada tahun 1932, struktur administrasi Ikhwanul Muslimin disusun dan pada tahun itu pula, Ikhwanul Muslimin membuka cabang di Suez, Abu Soweir dan al-Mahmoudiya. Pada tahun 1933, Ikhwanul Muslimin menerbitkan majalah mingguan yang dipimpin oleh Muhibuddin Khatib. Lebih lanjut lihat: http://id.wikipedia.org/wiki/Ikhwanul_Muslimin

[5] Zabir Rizq. Hasan al-Banna, hal.viii.

[6] Abdul Hamid al-Ghazali, Meretas Jalan Kebangkitan Islam, hal. 187

[7] Bair syair yang sering diulang-ulangi oleh Hasan al-Banna. Lihat: Zabir Rizq, hal. xxxix

[8] Khozin Abu Faqih, Bersama Mursyid ‘Am Ikhwanul Muslimin, hal.17

[9] Pendiri organisasi al-Hadharah al-Islamiyah di Kairo. Organisasi ini kemudian bergabung dengan Jama’ah Ikhwan setelah Hasan al-Banna pindah ke Kairo.

[10] Istri dari salah seorang tokoh utama Ikhwan bernama Abdul Hakim ‘Abidin.

[11] Wafat pada Maret 1990/Sya’ban 1410.

[12] Berprofesi sebagai perwira polisi. Pasca kematian al-Banna, Basith diberhentikan dari kepolisian, dan kemudian bekerja di Saudi Arabia hingga wafat dan dikebumikan di Pekuburan Baqi’ (Madinah).

[13] Wafat ketika berusia belum genap satu tahun.

[14] Penulis, yang lebih dikenal dengan nama Jamal al-Banna.

[15] Dialah yang menemani Hasan al-Banna menjelang kematiannya. Istri dari pengacara Abdul Karim Mansur ini wafat pada 1989.

[16] Semacam Sekolah Pendidikan Guru (SPG).

[17] Hasan al-Banna, Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin I, hal. 21

[18] http://id.wikipedia.org/wiki/Hasan_al-Banna

[19] AR. Zainuddin, Pemikiran Politik Islam, hal. 8

[20] Yusuf Qardhawi, Sistem Kaderisasi Ikhwanul Muslimin, hal. 97

[21] Hasan al-Banna, Risalah Pergerakan.., hal. 167-168

[22] Abdul Hamid al-Ghazali, Meretas..hal. 195

[23] Diringkas dari pidato sambutan Presiden RI pada saat menerima peserta rapat Dewan Paripurna Pusat LVRI di Istana Negara Jakarta, 11/01/2005. Lihat: http://www.presidensby.info/index.php/pidato/2005/01/11/276.html

[24] http://id.wikipedia.org/wiki/Nasionalisme

[25] Ali Abdul Halim Mahmud, Perangkat-Perangkat Tarbiyah Ikhwanul Muslimin, hal.44

[26] Ringkasan dari definisi Wikipedia. Lihat: http://id.wikipedia.org/wiki/Pemerintahan_dunia

[27] ibid

[28] Hasan al-Banna, Risalah Pergerakan.., hal. 170

[29] Salah satu intervensi asing bisa dilihat dari keputusan Dubes Inggris, Amerika dan Prancis pada 10 November 1948 di Fayd yang diberikan kepada Perdana Menteri Mahmud Fahmi Naqrasyi untuk membubarkan Ikhwan. Lihat, Zabir Rizq, hal.xxxvi.

[30] Tauhid Islam adalah penamaan yang populer dan menunjuk kepada dasar-dasar kepercayaan Islam yang diwahyukan kepada nabi-nabi dan rasul-rasul dari sejak Adam as hingga nabi Muhammad Saw. Ia adalah kepercayaan yang dasarnya adalah pengakuan dan penyerahan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang mempunyai sifat yang mutlak dan kekuasaan tak tertandingi. Tijani Abd. Qadir Hamid, Pemikiran Politik dalam al-Qur’an, hal. 22

[31] Hasan al-Banna, Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin II, hal. 66

[32] Wala’ kepada Allah, akan meruntuhkan wala’-wala’ kepada selain-Nya. Manusia akan menjadi bebas dan menjadi hamba bagi Tuhannya. Di sini dipahami bahwa kebebasan seorang manusia tidak akan dikekang lagi oleh seorang tuan atau pendeta. Ibid, hal. 116

[33] Abdul Hamid al-Ghazali, Meretas.., hal. 202


-- Yanuardi Syukur --

0 comments:

Post a Comment

 
◄Design by Pocket, BlogBulk Blogger Templates. Distributed by Deluxe Templates